This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services
Translation, Editing/proofreading, Training
Expertise
Specializes in:
Tourism & Travel
Textiles / Clothing / Fashion
Telecom(munications)
Journalism
Government / Politics
Environment & Ecology
Education / Pedagogy
Economics
Computers (general)
Business/Commerce (general)
Rates
Portfolio
Sample translations submitted: 1
English to Indonesian: ROADMAP of Indonesia’s Banking Development 2015-2019 General field: Bus/Financial Detailed field: Finance (general)
Source text - English Bab 1. Pendahuluan
Industri Jasa Keuangan (IJK) Indonesia selama hampir dua dekade terakhir mengalami perkembangan pesat, dilihat dari jumlah pemain dan besarnya aset. Selain inovasi produk, factor kunci lain dari perkembangan pesat IJK Indonesia adalah cara pemasaran yang bahkan membutuhkan kolaborasi antar Sektor Jasa Keuangan (SJK), dimana hal tersebut membutuhkan pengorganisasian bisnis yang mendorong munculnya konglomerasi keuangan.
Pada tahun 2011, pemerintah memutuskan membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK adalah sebuah lembaga yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di seluruh kegiatan SJK. Lembaga ini mempunyai misi:
1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sector jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Untuk mewujudkan misi tersebut OJK melihat adanya urgensi untuk membentuk Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) yang nantinya akan:
• Menjadi acuan bagi arah pengembangan SJK nasional yang terintegrasi
• Menciptakan iklim usaha di industry SJK yang adil, kompetitif dan kontributif.
• Menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan utama investasi dunia
• Memberikan platform bagi penguatan perlindungan konsumen yang sejalan dengan pengembangan SJK
MPJSKI ini diharapkan dapat membantu memperkuat struktur industri keuangan nasional dalam menghadapi dampak perkembangan ekonomi global, regional dan nasional. MPSJKI ini juga diharapkan membantu menyelaraskan kinerja SJK dengan program pembangunan ekonomi pemerintah dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. MPSJKI dapat membantu mewujudkan Indonesia sebagai sebuah perekonomian yang diperhitungkan bukan hanya karena memiliki pasar besar yang atraktif tapi juga memiliki pemain-pemain yang berdaya saing secara internasional dan berkinerja unggul serta berkontribusi dalam kemajuan Industri Jasa Keuangan (IJK) global.
Untuk mendukung tujuan MPSJKI, setiap SJK perlu melakukan pendalaman dan perluasan agar mampu mengoptimalkan peran mereka masing-masing. SJK Indonesia yang mampu bangkit lagi pasca krisis ekonomi Asia 1998 dan selamat dari krisis keuangan global 2008, diharapkan terpacu untuk memainkan peran yang lebih besar dan memberikan kontribusi yang semakin signifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Kontribusi tersebut akan diwujudkan antara lain melalui pemerataan akses perbankan, pemberian dukungan pendanaan sektor-sektor industry prioritas dalam mendukung kemajuan ekonomi Indonesia, serta membantu Indonesia lolos dari middle income trap dan menjadi negara maju.
Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2014 – 2019 adalah rencana pengembangan sector perbankan Indonesia yang terintegrasi dengan rencana pengembangan SJK lainnya, dan mengacu kepada MPSJKI (lihat Grafik 1.1). Oleh sebab itu, RP2I juga akan mewujudkan iklim usaha sektor perbankan yang adil, kompetitif, dan kontributif. Selain itu, RP2I akan menjadikan sektor perbankan sebagai sektor industri atraktif yang mendukung Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi utama dunia, serta menjadikan perbankan sebagai sektor industry yang memiliki platform perlindungan konsumen yang sejalan dengan rencana pengembangannya.
Bab 2
Overview Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI)
Peluang dan Tantangan Sektor Jasa Keuangan di Indonesia
A. KETIDAKPASTIAN KONDISI GLOBAL
Tren politik dan ekonomi global yang terus menerus berubah membuat sistem keuangan global sangatlah dinamis. Krisis keuangan global, krisis energi, air, dan pangan, perubahan iklim global, kesenjangan pendapatan, atau kondisi politik internasional secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi sektor keuangan global yang pada akhirnya akan memberikan dampak pada sektor keuangan nasional.
Ketidakpastian kondisi global ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang saat ini sedang menggenjot pembangunannya. Oleh karena itu, SJK di Indonesia harus berkontribusi untuk memperkuat daya tahan Indonesia agar mampu menghadapi ketidakpastian.
B. BERKEMBANGNYA STANDAR DAN KOMITMEN INTERNASIONAL
Indonesia merupakan negara yang aktif mengikuti beberapa kerjasama internasional baik secara bilateral, regional, maupun di lingkup global. Keanggotaan Indonesia di sejumlah forum seperti G20 yang bekerjasama dengan Financial Stability Board dan beberapa standard setting body seperti Basel Committee on Banking Supervision(BCBS), International Organization of Securities Commissions (IOSCO), serta International Association of Insurance Supervisors (IAIS) membuat Indonesia harus mampu mengikuti standar yang ditentukan oleh forum-forum tersebut. Standar internasional ini terus diadaptasi untuk mengimbangi dan mensejajarkan Indonesia dengan negara-negara tersebut serta sekaligus menunjukkan kuatnya komitmen sebagai anggota dari berbagai forum tersebut.
Standar yang menuntut perubahan prinsip akuntansi dan menciptakan good governance dapat membantu Indonesia mewujudkan sistem keuangan yang lebih baik. Sedangkan standar kebijakan seperti kebijakan anti terorisme maupun terkait isu lingkungan diciptakan untuk mengantisipasi berbagai hal yang dapat berdampak negatif terhadap sistem keuangan global. Millennium Development Goals, maupun climate change contract adalah komitmen internasional lain yang akan dipenuhi Indonesia. Tentunya dalam pelaksanaan pemenuhan komitmen dan standar internasional tersebut tetap mempertimbangkan kepentingan negara-negara anggota.
C. PERDAGANGAN BEBAS DAN TERINTEGRASINYA SEKTOR KEUANGAN
Datangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015 dan Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk sektor keuangan pada tahun 2020 akan mengintegrasikan ekonomi regional negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Integrasi ekonomi ini akan diwujudkan dalam perjanjian perdagangan bebas di antara negara ASEAN. Selanjutnya sebagai upaya untuk melakukan percepatan terlaksananya MEA untuk sektor perbankan telah dibentuk Asean Banking Integration Framework (ABIF). Di bawah ABIF, akan dilakukan negosiasi antar otoritas yang akan menentukan Qualified ASEAN Bank berdasarkan kesepakatan unilateral maupun bilateral.
Melalui framework tersebut, bank-bank yang menjadi QAB akan memperoleh perlakuan yang disejajarkan dengan bank-bank lokal. Perpindahan uang di ASEAN akan semakin mudah dengan terintegrasinyasektor keuangan di tingkat regional. Dengan semakin lebarnya pintu bagi bank regional, maka bank-bank di Indonesia harus sudah siap dan menyamakan standarnya dengan bank-bank di tingkat ASEAN lainnya agar mampu berkompetisi untuk melayani kebutuhan di bidang jasa keuangan Indonesia.
D. PERTUMBUHAN BERKELANJUTAN
Salah satu kendala yang dihadapi oleh sektor jasa keuangan Indonesia adalah kurang kuatnya peran SJK dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini mengandalkan pertumbuhan permintaan (demand) tercermin dari tingginya kredit konsumsi yang disalurkan oleh perbankan Indonesia. Untuk meningkatkan pertumbuhan yang lebih berkesinambungan maka dukungan pada sektor riil serta fokus pertumbuhan untuk menciptakan nilai tambah perlu memperoleh perhatian.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pengembangan sektor industri perlu diarahkan ke sektor yang produktif yang memiliki multiplier effect tinggi, seperti sektor pertanian (pertanian, perikanan, maritim) maupun pertambangan, agar menciptakan value added yang tinggi dan berkesinambungan bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Disamping sektor pertanian, pengembangan industri pengolahan, energi dan sektor UMKM juga perlu diprioritaskan untuk menciptakan nilai tambah yang pada akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selanjutnya, untuk menjaga keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri diperlukan adanya keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Untuk itu, OJK telah menyusun Roadmap Keuangan Berkelanjutan sebagai acuan bagi LJK. Dalam pengembangan strategi keuangan berkelanjutan, OJK akan (1) meningkatkan supply pendanaan ramah lingkungan, (2) menciptakan demand produk keuangan ramah lingkungan, serta (3) meningkatkan pengawasan dan koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan.
E. PEMERATAAN PEMBANGUNAN
Bentuk wilayah Indonesia yang berupa kepulauan menjadi tantangan dalam pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Hingga saat ini, pembangunan masih berkonsentrasi di daerah pusat khususnya pulau Jawa dan Bali, yang ditunjukkan dengan nilai distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per wilayah pada Grafik 2.2.
Terlihat bahwa pulau Jawa masih memberikan kontribusi terbesar bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional, diikuti dengan pulau Sumatera, Kalimantan, dan yang terkecil adalah gabungan PDRB wilayah Sulawesi dan Papua. Ketidakmerataan pembangunan juga menyebabkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antarwilayah. Pembangunan antarwilayah yang belum merata harus diatasi dengan alokasi dana pembangunan yang tepat sasaran.
Selain pemerataan pembangunan ekonomi antar wilayah, ketimpangan pendapatan yang terjadi di masyarakat memberikan tantangan tersendiri untuk masa depan. Perkembangan Indeks Gini mengindikasikan ketimpangan yang semakin tinggi, dengan demikian diperlukan upaya upaya khusus untuk mendukung pemerataan pembangunan (lihat Grafik 2.3).
F. STABILITAS KEUANGAN
Tuntutan pertumbuhan yang tinggi serta variasi produk perbankan yang semakin banyak menuntut adanya manajemen risiko yang lebih baik agar tercipta stabilitas sistem keuangan. Pembenahan serta pengembangan dari dalam sistem keuangan sendiri juga harus dimonitor secara ketat. Selain itu pelaksanaan koordinasi antara otoritas yang berwenang juga perlu ditingkatkan sehingga terealisasi melalui eksekusi yang tepat dan pada akhirnya menciptakan stabilitas sistem keuangan.
Visi MPSJKI
Dengan mempertimbangkan potensi dan tantangan dalam perekonomian, maka disusun MPSJKI 2015-2019 dengan visi utama, yaitu:
“Menjadikan Sektor Jasa Keuangan yang Berkontribusi Signifikan bagi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Indonesia”
Sasaran Utama MPSJKI
Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan tiga hal yang menjadi sasaran utama dalam MPSJKI, yaitu (lihat Grafik 2.4):
1. Kontributif, yaitu mengoptimalkan peran SJK dalam mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Stabil, yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan;atau
3. Adil, yaitu mewujudkan kemandirian finansial masyarakat serta mendukung upaya peningkatan pemerataan dalam pembangunan
Strategi Implementasi MPSJKI
Ketiga sasaran utama yang telah ditetapkan akan dilaksanakan melalui beberapa strategi, yaitu:
Kontributif
I. Meningkatkan porsi pendanaan sektor ekonomi prioritas.
II. Meningkatkan peran, kapasitas, dan daya saing IJK nasional.
III. Mengembangkan produk dan jasa layanan SJK.
IV. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan produk dan layanan SJK.
V. Meningkatkan peran SJK syariah sebagai sumber pendanaan dan investasi.
VI. Meningkatkan pemahaman dan pemanfaatan produk dan/atau layanan keuangan dan investasi masyarakat.
Stabil
I. Memperkuat pengawasan di SJK.
II. Penguatan SJK yang berstandar internasional.
III. Penataan persaingan SJK yang sehat dan produktif dalam rangka meningkatkan efisiensi.
IV. Menetapkan aturan market conduct dalam perlindungan konsumen dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi yang aman.
Adil
I. Meningkatkan peran IJK dalam mengembangkan potensi ekonomi daerah.
II. Meningkatkan jangkauan layanan SJK kepada seluruh lapisan
III. Memperkuat perlindungan bagi konsumen SJK.
Selain itu, juga terdapat faktor “enabler”, yaitu:
1. Pemenuhan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta
2. Pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan operasional SJK.
Ketiga sasaran utama dan enabler tersebut perlu didukung dengan koordinasi yang baik dan efektif antara otoritas, lembaga terkait, serta Lembaga Jasa Keuangan (LJK), baik pada tingkat pusat dan daerah maupun tingkat internasional. Koordinasi akan difokuskan pada aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi serta problem solving.
Bab 3
Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia
1. Peluang dan Tantangan Industri Perbankan Indonesia
a. Potensi Pasar Yang Masih Besar
Sebagai negara yang merupakan perekonomian terbesar di kawasan ASEAN, ukuran aset perbankan Indonesia belum yang terbesar. Hal Ini menunjukkan potensi pasar perbankan di Indonesia masih bisa dikembangkan lagi menjadi lebih besar di masa depan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat potensi tersebut seperti credit to GDP dan level of access to banking system yang masih rendah.
Masih banyak sektor perekonomian yang membutuhkan dukungan pembiayaan perbankan yang lebih besar namun belum tertangani dengan baik. Begitu juga dengan jumlah penduduk dan wilayah yang belum terlayani oleh sistem perbankan.
Oleh sebab itu, Indonesia menyambut hangat investor yang sudah masuk dan terus menggenjot kapasitasnya untuk bisa menghadapi dua tantangan di atas maupun investor baru yang ingin mengambil peluang dari terbatasnya kapasitas pemain yang sudah ada. Potensi pasar itu kian menarik ketika ada arahan baru pemerintah untuk menggenjot sektor perekonomian prioritas seperti sektor infrastruktur, energi, dan pangan yang membutuhkan pembiayaan yang nilainya melebihi kapasitas pemain yang ada saat ini. Untuk memudahkan investor menangkap peluang, regulator harus siap untuk menggunakan pendekatan it’s not business as usual.
b. Pendalaman Pasar
Terbatasnya kapasitas perbankan Indonesia salah satunya dipicu oleh terbatasnya sumber pendanaan perbankan. Dana Pihak Ketiga (DPK) yang jumlahnya sebetulnya tidakterlalu besar dan relatif mahal masih merupakan sumber utama. Selain itu, dengan porsi dana murah yang berorientasi jangka pendek yang besar, banyak bank yang enggan untuk masuk ke sektor yang berorientasi jangka panjang seperti infrastruktur atau pangan.
Karena itu, diperlukan sumber pendanaan lain, yang memungkinkan bank tidak bergantung hanya pada DPK yang didominasi dana murah yang berorientasi jangka pendek. Dalam konteks ini, pendalaman pasar merupakan hal yang mutlak harus dilakukan, seperti pengembangan pasar uang yang memungkinkan perbankan memiliki alternatif yang lebih banyak untuk pendanaan.
c. Product Development and Status Quo
Selain pendalaman pasar, potensi lain yang bisa digarap adalah menarik dana yang belum masuk sektor perbankan melalui produk baru yang inovatif. Pada saat ini, produk yang dimiliki bank-bank di Indonesia dibandingkan dengan bank-bank negara lain masih kalah variatif. Sehingga memberikan pilihan yang terbatas bagi para pemilik dana.
Bisa jadi, terbatasnya variasi produk karena pemain yang ada berorientasi status quo. Karena itu, pemain baru atau pemain lama yang didukung investor baru bisa memulai merintis pengenalan produk baru untuk mendongkrak sumber pendanaan perbankan secara signifikan atau menyediakan alternative pembiayaan yang kompetitif. Hal tersebut sejalan dengan semakin banyaknya kelas menengah yang membutuhkan produk yang lebih variatif dari yang sekarang ada.
d. Struktur Perbankan Yang Belum Optimal
Banyaknya pemain di industri perbankan Indonesia pada saat ini ternyata belum mendorong mereka memiliki spesialisi. Pilihan sebagai spesialis sebetulnya beragam. Pertama melakukan spesialisasi terkait dengan value chain dalam suatu sektor industri seperti spesialis industri pengolahan atau eceran. Kedua adalah menjadi spesialis di suatu sektor industri seperti spesialis industri pertanian dari hulu ke hilir. Ketiga adalah spesialis berbasis wilayah, seperti spesialis di wilayah Indonesia Timur.
Dengan dorongan spesialisasi yang kuat, diharapkan perbankan Indonesia bukan hanya memiliki pemain yang banyak jumlahnya, tapi juga lebih bervariatif dalam positioning. Sehingga pihak-pihak yang membutuhkan dukungan perbankan yang bersifat khusus tahu kemana sebaiknya mereka berhubungan, dan kontribusi perbankan menjadi lebih optimal bagi perekonomian Indonesia.
e. Persaingan Bank
Kategori bank umum di sektor perbankan Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik. Pada akhir tahun 2014, ada 62 bank yang masuk kelompok BUKU 1 atau modal inti dibawah Rp 1 T dan hanya menguasai 5,5% aset perbankan nasional sementara 4 bank yang masuk kelompok BUKU 4 dengan modal inti di atas Rp 30 T dan menguasai 42,78% aset perbankan nasional (lihat Grafik 3.4). Dengan jumlah pemain yang banyak dengan karakteristik bentuk usaha yang cenderung serupa tanpa adanya spesialisasi tertentu, maka pemain kecil akan langsung berhadapan dengan pemain besar.
Oleh sebab itu perlu ada perubahan new rules of the game di perbankan Indonesia yang akan memaksa pemain yang ada bukan sekedar asal eksis tapi membutuhkan kompetensi baru untuk bisa menggarap kebutuhan pasar yang ada. Hal ini bisa dipicu oleh pemain yang mempunyai positioning yang kuat maupun pemain yang inovatif dengan produk-produknya. Dengan demikian, dinamika perbankan Indonesia menjadi lebih bergairah dan bisa berkontribusi dalam menjadikan ukuran aset perbankan Indonesia menjadi lebih besar secara signifikan dalam waktu pendek.
2. Isu-Isu Strategis dalam Pengembangan Perbankan Indonesia
a. Perbankan yang berkontribusi pada stabilitas sistem keuangan
Pelajaran mahal dari krisis ekonomi 1997 – 1998 tentu merupakan suatuhal yang tidak mudah dilupakan pelaku dan regulator perbankan Indonesia, sehingga prudential banking merupakan suatu hal yang harus dilakukan dalam situasi apapun. Itulah sebabnya, ketika ada lonjakan kebutuhan pembiayaan pembangunan seiring dengan perubahan arah pembangunan ekonomi, prinsip tersebut merupakan hal yang harus terus dijunjung tinggi.
Dengan kata lain, sebagai sektor yang terbesar dalam sistem jasa keuangan Indonesia dan memiliki SDM yang lebih banyak dibandingkan SJK lainnya serta memiliki sistem dan culture yang lebih sensitif terhadap potensi ketidakstabilan sistem keuangan, regulator dan pelaku perbankan akan bersama-sama mengembangkan perbankan Indonesia dengan menjunjung tinggi prinsip prudential banking. Dengan kata lain, sektor perbankan akan all-out berperan menjaga stabilitas sistem keuangan dan diharapkan menjadi faktor penentu trust yang lebih tinggi pada sistem keuangan Indonesia.
Standar internasional yang bertujuan untuk meningkatkan kehati-hatian perbankan dalam melakukan kegiatan usahanya seperti Basel 3 telah diadopsi untuk memperkuat ketahanan perbankan nasional. Penerapan Basel 3 pada perbankan nasional tentunya memerlukan koordinasi yang baik antara otoritas dan industri perbankan.
Besarnya kebutuhan pembiayaan di Indonesia menuntut perbankanIndonesia untuk membesarkan diri dengan cepat. Upaya membesarkan diri akan ditempuh bukan hanya melalui pertumbuhan organik tetapi juga anorganik. Sejumlah bank yang memilih pertumbuhan anorganik telah mengembangkan bisnis di SJK lainnya dan menjadikan mereka sebagai konglomerasi keuangan yang komprehensif.
Selain membesarkan diri, sektor perbankan akan didorong meningkatkan sinergi dengan SJK lainnya, seperti sinergi antara bank dengan perusahaan sekuritas atau dengan asuransi. Sinergi antara bank dengan pasar modal atau Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), bisa dilakukan dalam satu grup maupun di luar grup usaha. Hal ini dilakukan agar gap pendanaan pembangunan nasional bisa lebih teratasi. Keberadaan OJK yang menyatukan regulator dan pengawasan semua SJK, membuat proses sinergi bisa berjalan paralel. Sehingga sinergi tetap akan memperhitungkan ketahanan dan kestabilan sistem keuangan nasional.
Sementara, bank yang memiliki unit bisnis atau anak usaha di berbagai SJK, akan secara khusus memiliki tuntutan tambahan baik secara internal dan eksternal. Di internal, semua unit bisnis dan anak usaha dituntut mampu melakukan sinergi grup lebih baik agar dapat efektif menangkap peluang pasar secara optimal. Secara eksternal, hal ini memaksa munculnya pengawasan terintegrasi terhadap konglomerasi keuangan, sehingga risiko penularan masalah bisa dikelola lebih baik.
b. Perbankan yang lebih kontributif dalam pembangunan nasional dan daerah serta mendukung sektor ekonomi prioritas.
Pergeseran arah pembangunan ekonomi dari domestic consumption yang bergantung pada impor yang tidak produktif, menjadi domestic consumption yang didukung sektor produktif domestik yang kuat mendorong pendekatan eksekusi not business as usual agar terwujud dengan waktu yang pendek. Pergeseran arah pembangunan ekonomi dan pendekatan eksekusi, mendorong sektor perbankan untuk bisa mengakomodasi semua sektorekonomi terutama sektor-sektor yang berpotensi memperkuat perekonomian Indonesia seperti energi, infrastruktur, pertanian, industri pengolahan, dan UMKM. Selain itu dukungan sektor perbankan pada sektor prioritas harus bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia untuk mendukung NKRI sebagai sebuah perekonomian yang terintegrasi.
Oleh karena itu, ukuran kontribusi tidak lagi hanya terbatas pada satu ukuran, seperti kontribusi total dalam perekonomian. Kontribusi juga akan dilihat lebih detil seperti mendorong pengembangan sektor ekonomi prioritas dan penyebaran dan perluasan jangkauan pembiayaan ke seluruh pelosok negeri. Sehingga aspek kontribusi juga mencerminkan keragaman dalam perekonomian Indonesia, baik terkait cakupan wilayah seperti pusat dan daerah, termasuk daerah terpencil dan perbatasan, dan cakupan sektoral, seperti sektor perekonomian prioritas dan non-prioritas.
c. Perbankan yang memiliki daya saing tinggi
Berbagai tuntutan baru yang muncul dalam perbankan Indonesia bukan hanya dimaksudkan untuk menjawab tantangan eksternal seperti lonjakan kebutuhan pembiayaan, tapi juga untuk memacu agar perbankan memiliki daya saing tinggi bukan hanya di pasar lokal, namun juga di tingkat nasional dan internasional. Pasar persaingan bebas memberikan peluang yang lebih besar bagi industri perbankan maupun bankir dari luar untuk memberikankontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Di lain pihak, pasar persaingan bebas memberikan peluang bagi industri perbankan nasional untuk melebarkan sayapnya di negara lain. Untuk menghadapi persaingan tersebut, perbankan di Indonesia sudah seharusnya membangun SDM, Teknologi Informasi dan business model yang akan membuat mereka benar-benar kompetitif.
Dengan hanya mengandalkan SDM dengan kualitas dan kuantitas seperti sekarang, para pemilik dan pengelola bank bahkan regulator dan pengawas tidak akan bisa dengan mudah memenuhi semua tuntutan baru perbankan Indonesia seperti meningkatkan exposure ke sektor ekonomi prioritas, mendukung keuangan inklusif, mendukung pemerataan pembangunan, dan keuangan berkelanjutan. Tuntutan tersebut membutuhkan kualitas SDM yang lebih baik, tidak hanya bagi bank namun juga peningkatan kualitas pengawas perbankan. Selanjutnya upaya peningkatan kualitas SDM perlu mendapatkan dukungan teknologi informasi yg handal.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM bukan hanya diarahkan sekedar untuk mendukung pertumbuhan organik dan anorganik, tapi juga diselaraskan dengan kebutuhan untuk bisa menjawab tuntutan-tuntutan baru seperti dalam perekonomian Indonesia, memperluas keuangan inklusif ke seluruh pelosok Indonesia, dan mampu dengan mudah mengadopsi keuangan berkelanjutan. Belum lagi peningkatan kualitas dan kuantitas SDM untuk mendukung kemampuan bersaing bukan hanya di dalam negeri setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN tapi juga mampu mendukung ekspansi, setidaknya di regional. Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM itu juga harus memperhitungkan aspek efisiensi terutama dengan ketersediaan teknologi yang memungkinkan munculnya peningkatan kualitas dan kuantitas SDM secara terukur.
d. Banking with sustainable financial system and inclusive finance
Sebagai bagian dari industri jasa keuangan, perbankan akan menerapkan sistem keuangan berkelanjutan yang mengacu pada roadmap keuangan berkelanjutan.
Selain mengadopsi keuangan berkelanjutan, perbankan Indonesia akan meningkatkan keuangan inklusif dengan memperluas akses layanan ke seluruh pelosok negeri, termasuk di pulau-pulau terpencil dan wilayah perbatasan serta meningkatkan secara signifikan banking penetration. Data World Bank per tahun 2010 mengindikasikan bahwa akses terhadap jasa keuangan masih didominasi sektor informal dan terdapat 39% rumah tangga miskin tidak punya akses terhadap jasa keuangan (lihat Grafik 3.8). Kondisi ini mendorong dilakukannya terobosan untuk meningkatkan keuangan inklusif di negera dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 dan tingkat penyebaran penduduk yang tidak merata. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penerapan bisnis keagenan yang diatur dalam ketentuan layanan keuangan Tanpa Kantor untuk keuangan inklusif (Laku Pandai). Melalui dukungan teknologi informasi dan penarapan bisnis keagenan diharapkan jangkauan bisnis perbankan dapat diperluas dengan biaya yang efisien namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
e. Perbankan syariah yang semakin signifikan dalam perbankan nasional
Perbankan syariah dikembangkan bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan perbankan sesuai dengan syariah, tapi juga memanfaatkan karakteristik unik, yaitu lebih dari sekedar bank. Hal tersebut terkait dengan skema pembiayaan yang lebih variatif, termasuk penggunaan skema yang secara konvensional ada di SJK selain perbankan. Selain itu, variasi akad yang bisa digunakan juga beragam.
Namun, keterbatasan SDM, modal, jaringan dan bahkan inovasi membuat perbankan syariah di Indonesia masih memiliki peran yang terbatas. Oleh sebab itu, signifikansi perbankan syariah akan terus ditingkatkan antara lain melalui kerjasama, antar anak perusahaan dengan bank induk. Hal tersebut dikembangkan dengan melihat bahwa bank-bank syariah di Indonesia sebagian besar merupakan anak perusahaan perbankan konvensional.
Dengan kata lain, sinergi dalam RP2I bukan hanya dilakukan antara perbankan dengan SJK lainnya, tapi juga antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Sinergi yang terjadi diharapkan dapat meningkatkan economic of scale dan economic of scope. Beberapa hal untuk peningkatan economic of scale seperti pemanfaatan jaringan dan kapasitas teknologi informasi yang lebih banyak secara efisien oleh induk dan anak usaha, sedangkan peningkatan economic of scope dalam bentuk pemanfaatan kompetensi dan kapasitas dari induk dan anak usaha secara bersamaan untuk bisa masuk ke berbagai konsumen dan jenis pembiayaan. Dengan demikian, terbentuklah perbankan syariah yang memiliki daya saing tinggi di tingkat internasional.
f. Mengedepankan perlindungan pada konsumen dan investor
Salah satu tujuan didirikannya OJK adalah perlunya peningkatan perlindungan konsumen pada masa sebelum OJK, terutama karena terbatasnya upaya edukasi konsumen sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perlindungan konsumen. Oleh sebab itu, sesuai dengan UU No. 21 tahun 2011, OJK membentuk sebuah kompartemen khusus Edukasi dan Perlindungan Konsumen dan Investor (EPK) (lihat Grafik 3.10).
Dengan tingkat literasi yang lebih baik, maka berbagai produk baru yang dikembangkan diharapkan lebih mudah diterima karena bukan hanya punya manfaat fungsional, tapi juga mendorong konsumen dan investor untuk memahami lebih baik mengenai manfaat, risiko, maupun hak dan kewajiban. Sehingga jika terjadi sengketa, bukan hanya bisa diselesaikan dengan baik namun juga tidak menjadi salah satu faktor penghalang pengembangan SJK di Indonesia. Perbankan sebagai sektor terbesardi industri keuangan Indonesia, dan memiliki jaringan yang lebih banyak dibandingkan SJK lainnya akan menjadi kunci penting bagi terwujudnya perbankan 3.0, yaitu perbankan yang peduli terhadap konsumen dan investor, terutama yang memiliki literasi terbatas.
3. Prinsip Pengembangan Industri Perbankan Indonesia
a. Menjawab Kebutuhan Pendanaan Pembangunan Nasional
Dengan mengacu pada kebutuhan pendanaan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) 2015 – 2019 dan juga memperhitungkan ukuran aset perbankan nasional pada saat ini yang mencapai Rp 5.554 T, harus diakui bahwa tidak akan mudah bagi perbankan untuk tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan tahunan –dengan acuan tahun 2014- sebesar 15% atau lebih tinggi di masa depan. Sementara itu, tantangan untuk menjawab kebutuhan pendanaan menjadi semakin besar, terutama setelah pemerintah yang baru ingin lebih agresif dalam membangun pembangkit listrik, jalan, pelabuhan dan bendungan agar bisa segera mendukung pengembangan sektor pertanian dan sektor industri pengolahan serta sektor UMKM. Karena itu, pendekatan not business as usual akan digunakan agar sektor perbankan mampu menjawab kebutuhan pendanaan yang besar di masa depan. Dimana kebutuhan tersebut muncul karena ada lonjakan kebutuhan dana untuk membiayai sektor prioritas dan kebutuhan lain yang terkait dengan semakin meningkatnya kelas menengah di Indonesia.
Singkat kata, sektor perbankan diharapkan mampu mendukung kebutuhan dana yang besar dari segi nominal uang, dan mampu masuk ke lebih banyak sektor. Selain itu diperlukan sinergi antar LJK untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang memiliki tenor relatif panjang.
b. Sectoral Shifting dan Interlinkage
Hingga 2014, pembiayaan perbankan didominasi sektor seperti konsumsi dan perdagangan yang harus diakui terbatas multiplier effect-nya untuk perekonomian nasional. Sementara sektor infrastruktur dan energi yang memiliki multiplier effect yang lebih baik dan bahkan bisa mendukung efisiensi sektor-sektor seperti industri pengolahan dan UMKM masih mendapatkan dukungan terbatas. Oleh sebab itu, pelaku perbankan akan didorong meningkatkan exposure pada sektor-sektor prioritas seperti infrastruktur, energi, industri pengolahan, perikanan dan pertanian dan UMKM.
Tentu tidak mudah bagi bank yang selama ini terbatas pengalamannya di sektor-sektor prioritas. Hal ini juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi regulator untuk mengarahkan exposure yang lebih tinggi di sektor prioritas tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan. Dukungan bagi perbankan untuk melakukan sectoral shifting dan interlinkage akan dilakukan dalam bentuk (1) pengaturan yang tidak one size fits all, (2) pemberian insentif, serta (3) mendorong perbankan untuk meningkatkan kualitas.
c. Pemanfaatan Momentum
Sebetulnya paradigma not business as usual bukan satu-satunya paradigma yang ada di RP2I ini. Berbagai tuntutan baru di industri perbankan Indonesia, dampak tidak langsung dari dinamika di regional dan global serta upaya menghindarkan diri dari middle income trap mendorong dipakainya paradigma it’s now or never. Artinya sudah tidak ada lagi kesempatan untuk menunda-nunda.
Jika penundaan itu terus dilakukan, maka dapat berpotensi menimbulkan bencana. Demi menghindar dari bencana itu, pendekatan not business as usual perlu dilakukan. Bahkan, jika perlu regulator dan pengawas juga tidak akan menerapkan regulasi dan pengawasan yang one size fits all.
Kesemuanya itu dilakukan agar Indonesia bisa menghadapi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan resmi berlaku pada tanggal 31 Desember 2015. Selain MEA, fenomena bonus demografi yang terjadi pada periode tahun 2010-2030, yaitu angkatan kerja produktif yang lebih besar dibandingkan angkatan kerja tidak produktif, juga harus diantisipasi sejak dini. Salah satunya dengan mendukung kemunculan sektor-sektor produktif yang akan menyerap angkatan kerja produktif.
Terakhir, middle income class yang selama 5 tahun terakhir berperan meningkatkan domestic consumption harus didorong menggerakkan sektor produktif. Dengan melihat kerangka waktu, bisa dikatakan it’s now or never!
4. Direction of Medium-Term Development Policy (2015 – 2019)
a. Conventional Commercial Bank
As the banking category with the largest assets size, supported by larger human resources and the most sophisticated information technology, Conventional Commercial Bank (BUK) is expected to strengthen their tenacity in coping with any fluctuation, either globally and locally. Also, BUK is encouraged to strengthen their competitiveness by developing products comparable to other banks in ASEAN. BUK also needs to implement the capital strengthening through consolidation for more effective financing support toward energy sector and infrastructure sector.
b. Islamic Commercial Bank
Bank Umum Syariah (BUS) sejak tahun 2008 dikenal sebagai kelompok perbankan dengan pertumbuhan yang tinggi. Meskipun demikian, pertumbuhan tinggi terjadi di tengah-tengah BUK yang juga tumbuh cukup tinggi. Oleh sebab itu, BUS diharapkan bisa tumbuh lebih tinggi lagi dibandingkan pertumbuhan BUK melalui sinergi antara induk dan anak usaha dan pengembangan produk.
c. BPR dan BPRS
Sebagai kelompok perbankan dengan jumlah paling banyak tapi berukuran kecil, BPR dan BPRS diharapkan menguatkan permodalan, manajemen risiko dan governance sesuai dengan ukuran mereka. Selain itu, BPR dan BPRS didorong untuk beroperasi di luar Jawa dan Bali yang tingkat persaingan dengan kelompok perbankan lain, seperti BUK, belum tinggi.
5. Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2015 – 2019
RP2I dikembangkan sebagai penjabaran MPSJKI di sektor perbankan. Namun RP2I akan dikembangkan terintegrasi dengan rencana pengembangan SJK lainnya. Strategi yang telah ditetapkan dalam MPSJKI akan diterjemahkan kedalam rencana kerja sebagaimana terdapat di lampiran, yang menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan untuk melaksanakan masing masing strategi. Kolom Bank Umum Konvensional menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan untuk BUK serta kebijakan yang bersifat generik untuk seluruh industri perbankan, sedangkan kolom BPR dan perbankan syariah menggambarkan kegiatan spesifik yang terkait dengan isu pengembangan dan pengawasan perbankan syariah dan BPR.
Selanjutnya untuk memperoleh proses implementasi yang baik, telah disusun roadmap implementasi sebagaimana terdapat di lampiran.
6. Arah Kebijakan Pengembangan Jangka Panjang (2020 – 2024)
a. Bank Umum Konvensional
Tahun 2020 sampai dengan 2024 merupakan periode dimana MEA telah terlaksana. Pengembangan industri perbankan akan terus diarahkan untuk peningkatan daya saing dan daya tahan disertai dengan upaya untuk peningkatan infrstrtuktur, seperti teknologi informasi maupun koordinasi yang lebih baik dengan lembaga terkait baik pemerintah maupun pihak swasta.
b. Bank Umum Syariah
Kewajiban untuk spin-off bagi UUS tentunya akan segera diberlakukan sesuai dengan Undang Undang pada tahun 2023, sehingga kebijakan pada periode ini akan diarahkan untuk persiapan spin-off. Peningkatan daya saing melalui upaya pembentukan bank syariah dari beberapa UUS juga akan diupayakan sehingga tercipta struktur perbankan syariah yang tangguh.
c. BPR dan BPRS
Meningkatnya kemampuan akses perbankan nasional kepada wilayah wilayah terpencil melalui konsep keagenen dan Laku Pandai, tentunya akan mempengaruhi bisnis BPR. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan sinergi antara BPR dan Bank Umum akan terus dilakukan.
Translation - Indonesian Chapter 1 Preface
In these last two decades, Indonesia’s Financial Services Industry (IJK) has been undergoing a rapid development, as depicted from the number of players within the industry and also the asset growth. Besides product innovation, marketing strategy requiring collaboration among financial services sectors also plays as another key factor, which demands proper business organization to drive the emergence of financial conglomeration.
In 2011, Indonesian Government decided to establish the Indonesia’s Financial Services Authority (OJK). OJK is an official institution serving the authority to execute an integrated regulatory and supervisory system in the financial services sectors. The institution has a number of missions:
1. Embodying well-organized, fair, transparent, and accountable implementation of all activities within the financial services sectors.
2. Embodying sustainable and stable growth of financial system.
3. Protecting consumers and society in general.
In order to embody these missions, OJK notices the urgency of Master Plan for Indonesia’s Financial Services Sector, which later will serve to:
• Guide the direction of integrated national SJK development.
• Create fair, competitive, and contributive business climate.
• Drive Indonesia as one of the main destinations for worldwide investment.
• Provide platform for strengthening the consumer protection attempts in the respect of the SJK development.
The MPJSKI is expected to help strengthening our national financial industry, especially amid the global, regional, and national economic growth. Also, the Master Plan is believed to be able to assist to synchronize SJK performance with the government’s economic development programs, including short-term, mid-term, and also long-term ones. The MPSJKI can push Indonesia forward as a leading economy not only for owning an attractive huge market, but also for having internationally-competitive and leading players, and for contributing to the global financial services industry (IJK).
To support these objectives, every single SJK needs both deepening and expansion to optimize their respective role. Indonesia’s SJK, who were once able to rise from Asian economic crisis back in 1998 and escaped from global financial crisis last 2008, are encouraged to show their greater roles and to offer more significant contributions for Indonesia’s economic development.
The contributions will be embodied through equitable banking access, financing support for priority sectors to sustain Indonesia’s economic development and allow Indonesia to get through middle income trap, and become a developed country.
The Roadmap of Indonesia’s Banking Development (RP2I) 2014-2019 is a development plan for Indonesia’s banking sector already integrated with development plans of other sectors, which refers to the MPSJKI (see Graph 1.1). Therefore, the RP2I is believed to be able to drive a fair, competitive, and contributive climate within the national banking sector. In addition, the RP2I will lead our banking sector to be more attractive in order to support Indonesia as one of the main destinations for worldwide investment, and also allow banking to be an industry sector with good consumer protection platform based on its development plan.
Chapter 2
Overview of Master Plan for Indonesia’s Financial Services Sector (MPSJKI)
Opportunities and Challenges in Indonesia’s Financial Services Sector
A. GLOBAL INDETERMINANCY
The dynamism on global economic and political trends has made global financial system incredibly dynamic as well. Global economic crisis, energy, water, and food crisis, global climate change, income discrepancy, or global politics, both directly and indirectly, have influenced significantly toward global financial sector, which subsequently also affect our national financial sector.
GLOBAL RISKS
Fiscal crisis on key economic sectors
High unemployment rate
Clean water crisis
Social Discrepancy
Failure on climate change mitigation and adaptation
Natural disasters
Failure on global governance
Food crisis
Failure on major fiscal institution or mechanism
Political and economic instability
Such global indeterminacy is obviously one particular challenge for Indonesia amid continuous efforts in pushing our national development forward. For that reason, SJK in Indonesia should contribute in strengthening our national resilience to cope with any uncertainty.
B. INCREASING INTERNATIONAL COMMITMENTS AND STANDARDS
Indonesia has been actively involved in numerous international collaborations bilaterally, regionally, and also globally. Our participation in several international forums, such as G20 which involves Financial Stability Board and some standard setting bodies like Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), International Organization of Securities Commissions (IOSCO), and International Association of Insurance Supervisors (IAIS), encourage Indonesia to be able to meet international standards set by those forums. These international standards are important for Indonesia to match and become a counterpart to other countries, and also to show our strong commitment as the forum member.
Standards demanding for a change on accounting principle and establishing good governance can assist Indonesia to embody an improved financial system. In addition, policy standards like anti-terrorism policy or environment policy are established to anticipate any possible issue that will affect the global financial system. Millennium Development Goals and also climate change contract are other international commitments to be fulfilled soon by Indonesia. Of course, in practice, these international commitments and standards will always put the respective interests of member countries as the key concern.
C. FREE TRADE AND INTEGRATED FINANCIAL SECTOR
The upcoming ASEAN Economic Community (MEA) in 2015 and ASEAN Economic Community for financial sector in 2020 will put together the economic sector of all ASEAN member countries, including Indonesia. A free trade agreement among ASEAN countries has been established for this integration goal. In addition, ASEAN countries have also compiled the ASEAN Banking Integration Framework (ABIF) in order to accelerate the MEA implementation for banking sector. Under the ABIF, there will be negotiation process among authorities organized to decide on the Qualified ASEAN Bank according to the unilateral and bilateral agreements.
By this framework, those banks qualified to be QAB will receive similar and equal treatment as what local banks obtain. Money transfer in ASEAN will be easier due to the integration of regional financial sector. As the entry access for regional banks will get wider soon, local banks in Indonesia, as a consequence, should get prepared to match those regional banks if they want to stay competitive in meeting the future demands of our national financial services sector.
D. SUSTAINABLE GROWTH
One of the real constraints faced by Indonesia’s financial services sector is the lack of contribution from SJK in supporting the sustainable economic growth. Our national economic growth has been relying on the demand growth as depicted from the high consumption credit rate circulated by the Indonesia’s banking. In order to boost a more sustainable growth, supports on the real sector and growth focusing on the Value Added should be taken into account.
To drive a sustainable growth, the industry development should focus more on productive sectors with high multiplier effect, like agriculture (farming, fishery, maritime) and mining, in order to create higher and sustainable Value Added for Indonesia’s economic growth. Besides that, the significant development on the processing industry, energy sector, and MSME sector should become priority as well in order to create Value Added that subsequently will generate the sustainable economic growth.
In addition, to maintain the sustainability itself, the synchronization between economic, social, and environmental interests in executing the economic activities is absolutely required. For that reason, OJK has launched the Sustainable Financial Roadmap as the guideline for LJK. For the sustainable financial strategy development, OJK will (1) increase eco-friendly financing supply, (2) create eco-friendly product demand, and (3) increase supervision and coordination on the implementation of sustainable financial development.
E. EQUITABLE DEVELOPMENT
As an archipelagic country, Indonesia faces a given challenge for embodying an equitable development all around the country. Until now, development still concentrates on central regions particularly in Java and Bali, as described on the Percentage Distribution of Gross Regional Domestic Product (GRDP) per region (see Graphic 2.2).
The graphic shows Java continues to occupy the largest contributor for national Gross Regional Domestic Product (GRDP), followed by Sumatera, Kalimantan, and the total of Sulawesi and Papua as the smallest contributor. This inequitable development, as a matter of fact, also brings discrepancy toward the inter-regional economic growth. Therefore, on-target development financing is compulsory to cope with this inequitable inter-regional development.
Besides the equitable inter-regional economic development, income discrepancy occurring in the society also poses another future challenge. Gini index indicates that the discrepancy has increased every year, and such circumstance requires immediate, special efforts to support the embodiment of equitable development (see Graphic 2.3).
F. FINANCIAL STABILITY
The high demand for growth and the higher banking product variety have called for a better risk management in order to drive stability on the financial system. Revitalization and improvement on the internal of financial system itself should be supervised tightly. In addition, coordination between authorities also needs increasing to ensure the appropriate execution and finally establish the financial system stability.
Vision of MPSJKI
Considering the future potential and challenges in the economy, MPSJKI 2015-2019 is launched with a main vision:
“To Establish a Financial Services Sector Contributing Significantly toward Sustainable Economic Growth and Indonesian People’s Welfare Improvement”
Main Targets of MPSJKI
To achieve the vision above, three main targets of MPSJKI are determined; consisting of (see Graphic 2.4):
1. Contributive, is to optimize the role of SJK in supporting the acceleration of national economic growth;
2. Stable, is to maintain the financial system stability as the guideline for the sustainable development; or
3. Fair, is to embody the society financial independence and to support efforts to drive the equitable development
Implementation Strategy of MPSJKI
All the main targets of MPSKI will implemented through several strategies, comprising:
Contributive
I. Increase financing portion for priority economic sectors.
II. Increase role, capacity, and competitiveness of national IJK.
III. Develop products and services of SJK.
IV. Create conducive environment for SJK products and services development.
V. Increase role of Islamic SJK as the source of financing and investment.
VI. Increase people’s understanding and consumption on financial services product and/or service.
Stable
I. Strengthen supervision on SJK.
II. Reinforcement for an international-standard SJK.
III. Health and productive SJK competition structuring in efforts to increase efficiency.
IV. Establish rule of market conduct for consumer protection and create conducive climate for secure investment.
Fair
I. Increase role of IJK in developing regional economic potential.
II. Expand SJK services to all layers of society
III. Strengthen SJK consumer protection.
In addition, there is also a couple of enabler factors required, comprising:
1. Acquirement of human resources quantity and quality, and
2. Utilization of information technology in SJK operational activities.
These three main targets and two enablers should be supported by good and effective coordination between authorities, associated bodies or institutions, and Financial Services Institution (LJK) in the central government level, regional level, and also international level. The coordination will focus on some aspects, including planning, implementation, monitoring and evaluation, and also problem solving.
Chapter 3
Indonesia’s Banking Development Roadmap
1. Opportunities and Challenges in Indonesia’s Banking Industry
a. Huge Market Potential
Indonesia has been the largest economy in the ASEAN region, yet it does not make Indonesia the largest one by banking asset size. It shows Indonesia still possesses a lot of potential available in the banking market yet to be fully exploited in the future. Two indicators to identify the potential are the low rate of credit to GDP and low level of access to banking system.
Many economic sectors require bigger support from the banking financing, but have not been fulfilled well so far. Besides, there are a number of consumers and regions in the country whose demand is also yet to be met.
As a result, Indonesia has responded positively toward both existing investors for keeping increasing their capacity to cope with the two challenges above, and also new investors for exploiting available opportunity from the limited capacity of existing players in the market. Such market potential becomes more appealing since the Government also releases new direction to intensify priority sectors such as infrastructure, energy, and food that require bigger financing with value exceeding the capacity of current players. To allow investors to catch the opportunity, regulator should be prepared to apply the so-called it’s not business as usual approach.
b. Market Deepening
Limited capacity on Indonesia’s banking is caused by several factors, and one of them is the limited source of banking financing. Third Party Funds (DPK) remain the main source of financing, although the amount is actually insignificant and relatively high-cost. Besides, with the huge portion of short-term, low-cost funds, numerous banks are reluctant to penetrate such long-term sectors like infrastructure or food.
Consequently, another source of financing is really required, to allow banks minimizing their reliance on DPK, in which short-term, low-cost funds are dominating. In this case, market deepening is an absolute step to take, such as money market development to allow banking to have more financing alternatives.
c. Product Development and Status Quo
Besides market deepening, another potential to work on is collecting funds outside the banking sector, which is by innovative, new products. At present, banking products in Indonesia are still not as diverse as those in other countries. No wonder, fund owners still find it hard to seek more alternatives.
It is assumed that this product variety inadequacy occurs due to the status quo of existing players. That’s why; new-entry players or existing players supported by new investors are just about to start introducing new products to boost banking financing source significantly or to provide a competitive financing alternative. It is important since more and more middle-class people demand for more diverse products.
d. Suboptimal Banking Structure
Many players are competing in Indonesia’s banking sector, but none of them have had any specialty yet. Being specialist actually provides various alternatives. First of all, it is related to the value chain for one particular industry sector such as processing industry or retail industry specialist. Second, become a specialist for one particular industry such as agriculture specialist from upstream to downstream. Third, become a regional-based specialist, such as being specialist for Eastern Indonesia region.
By a strong desire for being specialist, Indonesia’s banking is believed to not only consist of numerous players within the industry, but also numerous ranges of positioning. As a result, consumers with specific need for banking support will know where to go, and the banking contribution will be more optimal for Indonesia’s economy.
e. Competition among Banks
The presence of general banks in Indonesia’s banking sector is one particular phenomenon. In the end of 2014, there were 62 banks classified under BUKU 1 or the class for those banks with assets under IDR 1 Trillion and gain 5.5% of the national total banking asset while 4 (four) banks were classified under BUKU 4 with assets above IDR 30 Trillion and gain 42.78% of national banking asset (see Graphic 3.4). With the existence of numerous players with relatively similar characteristics and without any particular specialty, small players should willy-nilly compete head-to-head with the big ones.
Therefore, there should be new rules of the game in Indonesia’s banking sector to push existing players to go beyond by possessing new competencies to exploit the available market demand. It might happen if the existing players possess strong positioning and leading products innovation. Thus, Indonesia’s banking dynamism will be livelier, and will contribute to boost the banking asset significantly in the short period of time.
f. Bank Good Governance
As a legal institution serving to collect and distribute public funds, bank has a unique characteristic in which trust acted as the key factor, especially with the government assurance to protect public funds. Advantage given for banking industry should be followed by the good governance implementation. Bank as a financial institution should apply high-standard governance to build the trust of associated parties. Efforts for better governance have been executed, either by banking authorities and other institutions. For further development, efforts for banking good governance still need intensifying so that public trust will keep increasing.
2. Strategic Issues in Indonesia’s Banking Development
a. Banking Contribution toward Financial System Stability
The Economic Crisis 1997 – 1998 taught us an important lesson, and Indonesian banking practitioners and regulators will always jot down this occasion in mind. Prudential banking is compulsory in any circumstance. As the demand of development financing increases rapidly along with the shift on economic development direction, then the principle is something to uphold.
In other words, as the largest sector in Indonesia’s financial services system with larger human resources compared to other SJK and more susceptible system and culture toward financial system instability potential, both regulators and practitioners will collectively develop Indonesia’s banking sector by upholding the prudential banking principle. The banking sector will go all out to maintain the financial system stability, and is expected to become the determining factor of a higher level of trust toward Indonesia’s financial system.
International standards to urge our banking the caution in carrying out operational activities, such as Basel 3, have been adopted to strengthen our national banking tenacity. The adoption of Basel 3 on the national banking, of course, requires a well-managed coordination between authorities and banking industry.
A huge demand for financing in Indonesia impels Indonesia’s banking sector for a rapid expansion. Such rapid expansion can be achieved through both organic and inorganic growth. A number of banks relying on the inorganic growth have expanded their business to other SJK and become comprehensive financial conglomerations.
Besides expansion, the banking sector is also encouraged to increase the synergy with other SJK, such as synergy between bank and security or insurance companies. Or, the synergy between bank and capital market or Non-Bank Financial Industry (IKNB) can be implemented within one group or outside the business group. It is important to cope with the gap of national development financing better. OJK as the one to unite regulators and SJK monitoring serves to ensure the synergy runs correspondingly so that the synergy will keep taking national financial system tenacity and stability into account.
Meanwhile, those banks with business units or subsidiaries in several SJK will gain additional demands, either internally and externally. In the internal side, all business units and subsidiaries are demanded to be able to establish a better group synergy in order to effectively and optimally grab any market opportunity. In addition, externally, there should be an integrated monitoring required toward financial conglomerations for a better management on problem dispersion risks.
b. Larger Contribution from Banking Sector for National and Regional Development and Supporting Priority Economic Sectors.
The economic development shift from the domestic consumption relying on unproductive import to the domestic consumption supported by strong domestic productive sectors has driven an execution approach called not business as usual in order to achieve expected results faster. Shifting economic development direction and execution approach push banking sector to accommodate all economic sectors, particularly those sectors that will potentially strengthen Indonesia’s economy, such as energy, infrastructure, agriculture, processing industry, and MSME.
Supports from banking sector toward priorities sectors should also cover all Indonesia’s regions in order to sustain NKRI’s status as an integrated economy.
For that reason, the contribution is not only limited to one particular size, such as total contribution for economy. The contribution itself will be also noticed in more details, such as to push economic priorities development and expand financing scope all around the country. It is expected that the contribution aspect also reflects the diversity in Indonesia’s economy, either by regional scope, such as central and regions, including isolated and border areas, and also by sector, such as priority and non-priority sectors.
c. Banking with High Competitiveness.
Various new demands emerging in Indonesia’s banking sector are not only meant to respond to external challenges, such as increasing financing demand, but also to drive a more competitive banking sector, not only in local market, but also national and international market. Free trade market provides more opportunities for banking industry and foreign bankers to contribute more to Indonesia’s economic development. On the other side, free trade market also gives national banking industry an opportunity for international expansion abroad. To face the competition, Indonesian banks should already develop human resources, IT, and business model by now to increase their competitiveness.
By relying on existing human resources quality and quantity, bank owners and managing executives, and also regulators and supervisors will never be able to meet all new demands of Indonesia’s banking sector, such as increasing exposure to priority economic sectors, supporting inclusive finance, supporting equitable development and sustainable finance. All these demands require better human resources, not only for banks, but also for increasing the banking supervision quality. In addition, human resources quality development also need a reliable information technology support.
Therefore, the quality and quantity development of human resources is not only aimed to support both organic and inorganic growth, but is also synchronized with the need of responding to new challenges, expanding inclusive finance all around Indonesia, and easily adopting the sustainable finance. Besides, human resources quality and quantity development is also compulsory to support our competitiveness, not only in domestic market, after ASEAN Economic Community already started later on, but also in international market, at least on the regional level. Efforts in developing human resources quantity and quality should also consider the efficiency aspect, especially with the availability of technology to allow a well-measured human resources quality and quantity development.
d. Banking with sustainable financial system and inclusive finance
As a sector of the financial services industry, banking sector will apply the sustainable financial system referring to sustainable financial roadmap. Besides adopting the sustainable finance, Indonesia’s banking sector also enhances the inclusive finance by expanding service access all around the country, including isolated and border areas, and significantly increases banking penetration. In 2010, World Bank indicated that access to financial services was still dominated by informal sectors, and 39% of poor families had not had any access to financial services (see Graphic 3.8). Such circumstance underlines that there should be some breakthroughs to increase the inclusive finance in the country consisting of more than 17,500 islands and uneven population distribution. One of them is to apply agent-based business in accordance with the regulations of Branchless Financial Services for Financial Inclusion (Laku Pandai). Information technology support and agency-based business execution are expected to enable the cost-efficient expansion of banking business while always focusing on the vigilance principle.
e. Increasing Significance of Islamic Banking in National Banking Sector
Islamic banking is not only meant to meet Islamic-based market demands, but also to exploit unique characteristic, being more than just a bank. It is much related to more diverse financing schemes, including existing conventional non-banking scheme in SJK, and also more diverse covenants.
However, a shortage of human resources, capital, network, and even innovation make Islamic banking in Indonesia still play limited role. In this case, efforts to increase the significance of Islamic banking are important, including the collaboration between subsidiaries and parent company. Such collaboration should be developed considering most Islamic banks in Indonesia are actually the subsidiaries of commercial banks.
In other words, the synergy in RP2I is not only implemented between banking and other SJK, but also between conventional commercial banks and Islamic banks. Such synergies are eventually expected to increase economic of scale and economic of scope. Increasing economic of scale covers several aspects, such as efficient utilization of larger network and information technology capacity by parent company and its subsidiary, while increasing economic of scope can be done by competence and capacity optimization by both parent company and its subsidiary to target several markets and financing types. Eventually, the Islamic banking will be more competitive in the international level.
f. Priority on Consumer and Investor Protection
One of the objectives behind OJK establishment is the need for improving consumer protection, especially due to the lack of consumer education as an imperative part of consumer protection. For that reason, according to Act No. 21 of 2011, OJK establishes a special body for Consumer and Investor Education and Protection (EPK) (see Graphic 3.10).
Better understanding or literacy over financial services will help new products introduction to be more well-accepted by the market, not only for their functional benefit, but also to encourage consumers and investors to understand better about benefit, risk, right and obligation. In case a dispute occurring, it will be well-resolved and does not turn as one of barriers for SJK development in Indonesia. Banking as the largest sector in Indonesia’s financial sector with wider network than other SJK will become vital key for the embodiment of banking 3.0, which is banking with bigger concern on consumers and investors, particularly those with limited literacy.
3. Indonesia’s Banking Industry Development Principle
a. Responding the Demand of National Development Financing
Referring to financing requirement on the National Medium-Term Development Plan (RPJM) 2015 – 2019 and also considering our national banking asset size of IDR 5,554 T, it has not been easy for Indonesia’s banking to grow in the average annual growth – as in 2014 – of 15% or higher in the future. Meanwhile, the challenge to respond the financing demand also gets bigger, especially after the newly-elected government commits to be more aggressive in building power plants, roads, ports, and reservoirs in order to support agriculture sector, processing industry, and MSME. Therefore, the not business as usual approach will be employed for banking sector to respond high financing demands in the future. Such demand appears as the consequence of increasing need for priority sectors financing and other needs related to the increasing number of middle class people in Indonesia.
In short, banking sector is expected to be able to support huge financing demands from nominal aspect and to enter more sectors. In addition, a synergy among LJK is also required to meet the needs for national development with a relatively long tenor.
b. Sectoral Shifting and Interlinkage
Until 2014, banking financing has been dominated by some sectors, such as consumption and trade, that actually only generate limited multiplier effect for our national economy. On the contrary, those sectors with better multiplier effect and even more than capable to support the efficiency, including infrastructure and energy sector, do not get that much support. Therefore, banking practitioners will be encouraged to increase exposure on priority sectors like infrastructure, energy, processing industry, fishery and agriculture, and MSME.
It will not be easy, of course, for banks with limited experiences to enter the priority sectors. Regulators should consider directing more exposure toward these priority sectors without sacrificing our financial system stability. Supports for banking sector to implement sectoral shifting and interlinkage will comprise (1) one size fits all approach is not an option, (2) provision of incentive, and (3) encouragement for banking quality improvement.
c. Momentum Exploitation
Actually not business as usual paradigm is not the only paradigm existing in RP2I. Numerous new demands in Indonesia’s banking industry, indirect impact from regional and global dynamism and efforts in avoiding middle income trap, force the use of it’s now or never paradigm, meaning no more delay.
More delay will only bring potential disaster. Therefore, not business as usual paradigm is essential. In fact, even regulators and supervisors do not need to apply one size fits all regulations and supervision.
All these actions should be implemented by Indonesia to welcome the ASEAN Economic Community (MEA) as it will take effect on December 31, 2015. Besides MEA, the demographic dividend phenomenon between on 2010-2030, a period with more productive workforce than the non-productive one, should also be anticipated earlier. One of the ways is to support the emergence of productive sectors that will absorb the productive workforce.
Lastly, middle-income class that has been contributing positively in increasing domestic consumption in the last five years should also be encouraged to generate the productive sectors. We can say that it’s now or never!
4. Direction of Medium-Term Development Policy (2015 – 2019)
a. Conventional Commercial Bank
As the banking category with the largest assets size, supported by larger human resources and the most sophisticated information technology, Conventional Commercial Bank (BUK) is expected to strengthen their tenacity in coping with any fluctuation, either globally and domestically. Also, BUK is encouraged to strengthen their competitiveness by developing products comparable to other banks in ASEAN. BUK also needs to implement the capital strengthening through consolidation for more effective financing support toward energy sector and infrastructure sector.
b. Islamic Commercial Bank
Islamic Commercial Bank (BUS), since 2008, has been recognized for generating a high level of growth. However, this accomplishment occurred at the same time conventional commercial bank (BUK) also scored fairly high level of growth. Therefore, BUS is expected to grow higher than BUK through synergy between parent company and its subsidiary, and product development.
c. BPR and BPRS
Being the largest in number, but only of the smaller banks, BPR and BPRS are expected to strengthen capital, risk management and governance based on their size. In addition, BPR and BPRS are also encouraged for expansion outside Java and Bali, in the areas where the competition level with other banking categories, such as BUK, is not high yet.
5. The Roadmap of Indonesia’s Banking Development (RP2I) 2015 – 2019
RP2I is established as the elaboration of MPSJKI for the banking sector. However, RP2I will be integrated with the development plan of other SJK. Strategies set in MPSJKI will be translated into working plans, as attached in the appendix, explaining necessary activities for every single strategy. Conventional Commercial Bank column explains activities directed for BUK and generic policy for all banking industry, BPR and Islamic banking column depicts specific activities concerning development and supervision issues for Islamic banking and BPR.
Furthermore, to guarantee well-managed implementation, the implementation roadmap has been also compiled as attached in the appendix.
6. Direction of Long-Term Development Policy (2020 – 2024)
a. Conventional Commercial Bank
The five-year period of 2020-2024 will be the time MEA has been effectively started. The banking industry development will be always directed to tenacity and competitiveness improvement, followed by infrastructure enhancement efforts, such as information technology and better coordination with associated institutions, either governmental or private.
b. Islamic Commercial Bank
By law, the spin-off obligation for UUS will be taking effect by 2023, which means that policies during this period will be directed for the spin-off preparation. Competitiveness improvement by establishing Islamic bank from several UUS will also be strived for in order to build a firm structure for Islamic banking.
c. BPR and BPRS
Better national banking access covering until isolated areas by agent-based concept and branchless banking (Laku Pandai) has influenced BPR. Therefore, efforts to increase the synergy between BPR and commercial bank will be implemented continuously.
More
Less
Translation education
Bachelor's degree - Universitas Indonesia
Experience
Years of experience: 16. Registered at ProZ.com: Jan 2015.